Jakarta, CNBC Indonesia – China, negara yang telah lama menjadi sumber optimisme pasar saham, kini menjadi kekhawatiran bagi para investor.
Pada awal tahun ini, para investor mengucurkan dana kepada kumpulan saham China. Ini dimotivasi oleh spekulasi bahwa berakhirnya pembatasan Covid-19 mendorong pengeluaran yang sangat besar di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
Sebaliknya, lemahnya pertumbuhan dan meningkatnya ketegangan politik dengan Amerika Serikat (AS) justru mendorong buruknya keuntungan dan ketidakpastian di masa depan. Bagi investor di beberapa saham kelas berat AS, China tiba-tiba terlihat tidak menjanjikan.
“Pembukaan kembali saham mengecewakan bagi semua orang,” kata Rob Haworth, direktur strategi investasi senior di US Bank Wealth Management, dikutip dari Wall Street Journal, Kamis (9/11/2023).
“Tidak banyak permintaan yang terpendam dalam hal apa pun, selain perjalanan domestik.”
Menurut data Refinitiv Lipper, sekarang investor mencari tempat investasi lain dan telah menarik US$1,6 miliar (Rp25,01 triliun) dari reksa dana dan ETF yang diperdagangkan di bursa yang berfokus di China pada tahun 2023. Total aset bersih kumpulan tersebut mencapai US$21,6 miliar (Rp 337,67 triliun), turun sepertiga dari puncaknya pada tahun 2021, karena capital outflow dan kinerja yang lemah.
Yang mendasari lesunya perekonomian China adalah merosotnya pasar perumahan dan gagal bayar yang baru-baru ini dilakukan oleh salah satu pengembang besar negara tersebut. Data terbaru juga menunjukkan aktivitas di sektor manufaktur negara tersebut mengalami kontraksi pada bulan Oktober.
Hal ini membuat investor bertanya-tanya apakah konsumen akan memprioritaskan untuk membayar utangnya dibandingkan melakukan pembelian baru, sehingga memperpanjang pelemahan perekonomian.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan tercatat di bursa saham AS yang melakukan bisnis signifikan di Tiongkok mengalami kesulitan. Indeks Nasdaq Golden Dragon China, yang melacak 79 perusahaan berorientasi konsumen termasuk Alibaba, naik tajam pada awal tahun 2023 tetapi sekarang turun 4,9% untuk tahun ini.
Saham Yum China, yang mengoperasikan restoran KFC dan Pizza Hut di Tiongkok, turun 15% di bursa New York pada Rabu lalu. Ini terjadi setelah para eksekutif mengatakan permintaan konsumen melemah pada bulan September dan Oktober.
Saham Estée Lauder juga anjlok setelah perusahaan kosmetik tersebut mengatakan bahwa penjualan produk kecantikan kelas atas di Tiongkok telah melambat untuk pulih.
Apple mengatakan pendapatan dari China turun 2,5% menjadi US$15,1 miliar dalam tiga bulan yang berakhir pada bulan September.
Perusahaan juga menghadapi lebih banyak tekanan dari pemerintah. Di China, pejabat pemerintah baru-baru ini dilarang menggunakan iPhone di tempat kerja. Di AS, kontrol ekspor baru dapat memaksa pembuat chip Nvidia membatalkan pesanan dari Tiongkok senilai miliaran dolar.
Beberapa investor mengatakan ada kemungkinan para pembuat kebijakan Tiongkok akan melakukan stimulus ekonomi baru yang dapat menyebabkan kenaikan tajam pada saham-saham China. Namun mereka mempertanyakan apakah langkah tersebut dapat memicu perbaikan jangka panjang.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Menanti Inflasi Amerika, Minat Asing Sepi di Surat Utang RI
(Zefanya Aprilia/ayh)
Quoted From Many Source