Lagi! Bos BI Keluarkan Jamu Pahit & Manis untuk Selamatkan RI

Berita, Teknologi28 Dilihat

Jakarta, CNBC Indonesia – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo kembali mengeluarkan ‘jamu pahit’ dan ‘jamu manis’ untuk menjaga stabilitas rupiah, inflasi, serta ekonomi domestik.

Istilah jamu pahit dan jamu manis sendiri telah berulang kali digunakan Perry untuk menggambarkan kebijakan moneter, makroprudensial dan lain sebagainya yang menopang stabilitas rupiah, inflasi hingga ekonomi Indonesia.

Jamu pahit yang disiapkan BI kali ini adalah kenaikan suku bunga acuan. Dalam paparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (19/10/2023), BI memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6%.

Salah satu tujuan kenaikan ini adalah untuk menjaga inflasi tetap rendah. Ini adalah kenaikan kedua pada tahun ini. Kenaikan sebelumnya dilakukan pada Januari 2023.

Selain itu, BI menerbitkan instrumen baru untuk menarik aliran modal asing (inflow), yaitu Penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

Penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrumen moneter yang pro-market untuk pendalaman pasar uang dan mendukung upaya menarik portfolio inflows, dengan mengoptimalkan aset surat berharga dalam valuta asing yang dimiliki Bank Indonesia sebagai underlying.

Tenor dalam instrumen ini, yaitu SVBI adalah 1,3,6,9 dan 12 bulan. Sementara SUVBI 1,3 dan 6 bulan. Implementasinya akan dimulai pada 17 November 2023. SUVBI dan SVBI itu bisa diperdagangkan di pasar sekunder dan boleh juga diperdagangkan dengan non residen.

“Pendalaman pasar kita percepat dan suku bunga juga untuk forward looking preemptive supaya ke depan inflasi kita tetap rendah, price stability tetap terjaga,” ungkapnya dalam paparan RDG.

Perry mengungkapkan dua kebijakan tersebut merupakan jamu pahit yang diberikan BI. “Itukan jamu pahit, jamu manisnya apa tambahi toh!” katanya.

Baca Juga  Ratusan Polisi Disiagakan Amankan Pemilu Serentak di Jepara

Pertama, BI merilis Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas, termasuk hilirisasi (minerba, pertanian, perkebunan, dan perikanan), perumahan (termasuk perumahan rakyat), pariwisata dan ekonomi kreatif, UMKM, KUR, Mikro, dan hijau yang telah berlaku sejak 1 Oktober 2023.

Dari KLM sebelumnya, Perry mengungkapkan BI menambah likuiditas hingga Rp 50 triliun. “Nah sekarang yang sudah terealisasi kita tambahin likuiditasnya untuk mendorong kredit pembiayaan,” kata Perry.

Adapun, sebanyak 120 bank sudah memanfaatkan insentif ini. “Tambahannya Rp 28,79 triliun, kita sudah tambah likuiditas dari sekitar Rp 50 triliun,” lanjutnya.

Dengan demikian, masih ada Rp 20 triliun yang bisa dimanfaatkan perbankan. “Tapi janji lho para bankir untuk salurkan kredit jangan ditaruh lagi ke SBN kita tambah likuiditas,” tegas Perry.

Kedua, BI melonggarkan likuiditas dengan penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 100 bps dari 6% menjadi 5% untuk Bank Umum Konvensional (BUK), dengan fleksibilitas repo sebesar 5%; dan rasio PLM syariah sebesar 100 bps dari 4,5% menjadi 3,5% untuk Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah (BUS/UUS), dengan fleksibilitas repo sebesar 3,5%.

“Penurunan ini juga ditujukan untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan dalam penyaluran kredit/pembiayaan dan mendorong pendalaman pasar keuangan, berlaku mulai 1 Desember 2023,” kata Perry.

Perry mencontohkan dengan menurunkan 1% PLM, maka ada tambahan Rp 81 triliun, dari Rp 8.100 triliun.

“Lagi-lagi kami mohon para perbankan tambahan dari Rp 30 triliun KLM, Rp 81 triliun dari penurunan PLM. Ayo kita dorong untuk salurkan kredit pembiayaan mendorong pertumbuhan ekonomi, sama-sama melindungi ekonomi kita dari dampak global yang tidak menentu ini,” ujarnya.

“Itulah jamu manisnya dari kebijakan makroprudensial, kurang lagi?”

Baca Juga  OJK Sebut Ini Soal OCBC NISP Akuisisi Bank Commonwealth

Perry menuturkan BI juga memutuskan untuk melanjutkan pelonggaran Rasio Loan To Value (LTV) untuk Kredit Properti dan Rasio Financing to Value (FTV) untuk Pembiayaan Properti menjadi paling tinggi 100%.

Dengan demikian, BI mendorong dilanjutkannya kebijakan Down Payment (DP) 0% untuk properti hingga 2024.

“Kebijakan LTV dan FTV berlaku bagi semua jenis properti, a.l. rumah tapak, rumah susun dan rumah kantor dengan kriteria NPL/NPV tertentu untuk dorong kredit sektor properti dengan tetap menjaga efektif 1 Januari sampai 31 Desember 2024,” papar Perry.

BI juga melanjutkan ketentuan uang muka kredit pembiayaan bermotor paling sedikit 0% untuk semua jenis kendaraan bermotor baru untuk dorong kredit di otomotif diperpanjang dan berlaku efektif 1 Januari sampai 31 Desember 2024.

Kebijakan ini merupakan lanjutan dari kebijakan LTV dan FTV serta uang muka kendaraan yang dirilis sejak 2021 dan berlanjut hingga akhir 2023. Kini dengan kebijakan baru ini, insentif FTV, LTV dan uang muka bergeser hingga 2024.

“Jadi makroprudensial betul-betul kita optimalkan dorong kredit dan pembiayaan bagi ketentuan ekonom berkelanjutan,” kata Perry.

Di luar hal itu, Perry tetap mengharapkan perbankan sama-sama menggunakan tambahan likuiditas ini untuk salurkan kredit tidak digunakan lagi untuk bermain di aset-aset keuangan.

Ternyata tidak berhenti sampai di sini, jamu manis juga diberlakukan dalam sistem pembayaran. Perry mengungkapkan penggunaan QRIS di Singapura akan resmi dimulai pada November 2023.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


AS Gonjang-ganjing, Begini Hasil Uji Stres Bank di RI

(haa/haa)


Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *