Intip Harta Orang Terkaya RI Dari Dividen, Sosok Ini Terbesar

Berita, Teknologi21 Dilihat

Jakarta, CNBC Indonesia – Daftar orang terkaya di Indonesia kembali berubah sejak Minggu (15/11/2023), di mana orang terkaya paling ‘wahid’ di Indonesia kini bukan lagi konglomerat pemilik saham batu bara PT Bayan Resources, ‘Dato’ Low Tuck Kwong.

Kini, orang terkaya pertama di Indonesia adalah konglomerat petrokimia pemilik Grup Barito yakni Prajogo Pangestu. Berdasarkan laporan Forbes Real Time Billionaires, Minggu lalu, kekayaan Prajogo mencapai US$ 37,4 miliar.

Prajogo menyalip Low Tuck Kwong yang memiliki harta mencapai US$ 26,5 miliar. Selain berada di peringkat 1 daftar orang kaya di RI, Prajogo juga menjadi orang paling kaya ke-32 di dunia.

Bahkan, kekayaan Prajogo juga menyusul posisi dua bersaudara konglomerat Grup Djarum yakni Robert Budi Hartono dan Michael Hartono. Robert Budi Hartono memiliki kekayaan sebesar US$24,3 miliar, dengan Michael Hartono sebesar US$23,3 miliar.

Meski begitu, kekayaan Prajogo masih tetap kalah dengan Robert Budi Hartono dan Michael Hartono jika kekayaan keduanya digabungkan yakni menjadi US$ 47,6 miliar.

Namun bagaimana jika ketiganya mendapatkan dividen dari masing-masing perusahaannya?

Tentunya, tingkat dividen ketiga perusahaan berbeda-beda. Sebagai ukurannya, Prajogo diukur dari tingkat dividen dan kepemilikan di PT Barito Pacific Tbk (BRPT), sedangkan Low Tuck di BYAN, dan Hartono Bersaudara di PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).


Jika dilihat dari dividend per share (DPS) saham BYAN, selama tiga tahun terakhir totalnya mencapai 976,5 per lembar saham. Dengan Low Tuck Kwong yang memiliki sebanyak 20,3 miliar lembar saham BYAN, maka keuntungannya yang didapat Low Tuck Kwong dari dividen BYAN mencapai Rp 19,9 triliun dalam tiga tahun terakhir dan sebanyak Rp 6,6 triliun per tahunnya.

Begitu juga dengan Hartono bersaudara. Dari kepemilikannya secara tidak langsung di saham BBCA melalui PT Dwimuria Investama Andalan yang mencapai Rp 67,7 miliar lembar saham dan DPS BBCA dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mencapai 436 lembar saham, maka keuntungan yang didapat Hartono bersaudara dari BBCA mencapai Rp 29,5 triliun dalam tiga tahun terakhir.

Baca Juga  Ini Cara Indonesia Berdaulat di Sistem Pembayaran

Adapun per tahun, Hartono mendapatkan ‘cuan’ sebesar Rp 9,8 triliun dari dividen BBCA.

Namun, berbeda jauh dengan Prajogo di saham BRPT. Dari kepemilikannya secara langsung di BRPT yang mencapai 66,7 miliar lembar saham, namun karena DPS BRPT dalam tiga tahun terakhir hanya mencapai 7,39 lembar saham, maka Prajogo sejatinya hanya mendapat keuntungan sebesar Rp 493,2 miliar dalam tiga tahun atau sebesar Rp 164,4 miliar per tahunnya.

Dengan ini, maka jika dilihat dari keuntungan yang diperoleh dari dividen masing-masing perusahan, maka Duo Hartono masih mengungguli, sedangkan di posisi kedua ada Low Tuck Kwong, dan terakhir yakni Prajogo Pangestu.

Kekayaan Prajogo diketahui mengalami peningkatan yang sangat besar usai sejumlah perusahaannya melantai di bursa saham Indonesia, terutama saham PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).

Semenjak IPO, kedua saham tersebut sudah melesat cukup tinggi. Dari IPO-nya hingga kemarin, saham BREN sudah meroket 589,1%. Sedangkan untuk saham CUAN dari IPO hingga sebelum disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), sudah meroket hingga 3.081,82%.

Sebagai informasi, saham CUAN dan BREN sempat disuspensi oleh BEI pada perdagangan Jumat pekan lalu, karena kenaikannya dinilai sudah tidak wajar. Namun, nasib keduanya pun berbeda, di mana suspensi saham BREN sudah dibuka sejak perdagangan sesi I Senin kemarin, sedangkan saham CUAN hingga kemarin belum dibuka kembali suspensinya.

Bahkan secara valuasi, keduanya pun sudah cukup mahal. BREN, misalnya, diperdagangkan 439,85 kali di atas laba perusahaan. Ini mengacu pada rasioprice-to earnings(P/E) atau PER. Lazimnya, PER 10-15 kali dianggap wajar, sedangkan di bawah itu dianggap murah dan di atas patokan tersebut mahal.

Meski sudah cukup mahal sejak proses IPO, tetapi nyatanya saham BREN tetap diminati, di mana IPO BREN mencetak oversubscribe hingga 135 kali.

Sedangkan untuk PER saham CUAN sudah mencapai 232,33 kali, juga sudah jauh lebih mahal dari PER wajarnya di 10-15 kali.

Baca Juga  Asing Diam-diam Buang 10 Saham RI Ini Kala IHSG Melemah

Prajogo Pangestu bisa dianggap sebagai salah satu taipan yang meniti karir dari bawah. Putra seorang pedagang karet ini, hanya bisa mengenyam pendidikan tingkat menengah pertama karena keterbatasan ekonomi keluarganya.

Di Kalimantan, Prajogo mendapat pekerjaan sebagai sopir angkutan umum jurusan Singkawang-Pontianak. Ia juga membuka usaha kecil-kecilan dengan menjual bumbu dapur dan ikan asin.

Di sela-sela pekerjaan itu, Prajogo bertemu dengan seorang pengusaha kayu asal Malaysia, bernama Burhan Uray. Dari pertemuan itu, pada 1969 Prajogo lantas memutuskan bergabung di perusahaan milik Burhan, yakni PT Djajanti Grup.

Lantaran etos kerja yang tinggi, Prajogo pun berhasil mendapatkan jabatan General Manager Pabrik Plywood Nusantara setelah tujuh tahun mengabdi pada grup yang menaunginya tersebut.

Hanya setahun saja Prajogo menjabat sebagai GM Djajanti Group. Ia putuskan resign dan membeli sebuah perusahaan yang sedang krisis finansial. Nama perusahaan tersebut adalah CV Pacific Lumber Coy.

Prajogo meminjam sejumlah dana pada sebuah bank untuk membeli perusahaan kayu ini. Hebatnya, ia dapat mengembalikan pinjaman tersebut hanya dalam kurun waktu satu tahun.Perusahaan inilah yang kemudian berubah nama menjadi PT Barito Pacific. Pada masa orde baru, perusahaan ini maju pesat menjadi perusahaan kayu terbesar di Indonesia.

Namun kesuksesan ini tidak menghentikan langkah Prajogo untuk terus berkembang. Selanjutnya, ia melakukan ekspansi bisnis dengan mendirikan PT Chandra Asri Petrichemical Center dan PT Tri Polyta Indonesia Tbk.

Perusahaannya Barito Pacific Timber telah melakukan go public pada tahun 1993 dan berganti nama menjadi Barito Pacific setelah mengurangi bisnis kayunya pada 2007.

Pada 2007 Barito Pacific mengakuisisi 70% dari perusahaan petrokimia Chandra Asri, yang juga diperdagangkan di BEI. Pada 2011 Chandra Asri bergabung dengan Tri Polyta Indonesia dan menjadi produsen petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia. Thaioil mengakuisisi 15% saham Chandra Asri pada Juli 2021.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Sosok Ini Pernah Kalahkan Kekayaan Bos Djarum, Simak!

(chd/chd)


Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *