Jakarta, CNBC Indonesia – Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pasca data inflasi konsumen AS di atas ekspektasi pasar.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka di angka 15.720/US$ atau melemah 0,22% terhadap dolar AS. Posisi ini memutus tren penguatan dua hari beruntun dan merupakan posisi terlemah sejak 10 Oktober 2023.
Sementara indeks dolar AS (DXY) pada Jumat (13/10/2023) pukul 08.58 WIB, berada di posisi 106,47 atau turun 0,12% jika dibandingkan penutupan perdagangan Kamis (12/10/2023) yang ditutup di angka 106,60.
Kemarin (12/10/2023), AS telah merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk periode September 2023. Tingkat inflasi AS berada sama dengan periode sebelumnya yakni di angka 3,7% secara tahunan namun angka ini berada di atas ekspektasi pasar yakni 3,6%.
Sedangkan secara bulanan, inflasi AS menembus 0,4% (mtm) dan 3,7% (yoy) pada September 2023. Pada Agustus 2023, inflasi AS tercatat 0,6 (mtm) dan 3,7% (yoy) pada Agustus 2023. Sementara itu, inflasi inti mencapai 0,2% (mtm) dan 4,1% (yoy) pada September 2023.
Data inflasi membuat pasar kecewa karena mencerminkan masih panasnya ekonomi AS. Kondisi ini pada berujung pada ketatnya kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) ke depan. Inflasi September masih jauh dari target sasaran The Fed yakni 2%.
Inflasi juga diperkirakan sulit turun ke depan karena tingginya imbal hasil US Treasury serta lonjakan harga energi akibat perang Israel vs Hamas.
US Treasury tenor 10 tahun kini mendekati 5% dan diyakini akan membuat bunga pinjaman perumahan melesat sehingga inflasi pada sektor tersebut sulit turun ke depan.
Inflasi AS yang masih kencang ini meningkatkan ekspektasi pasar jika The Fed masih akan galak ke depan.
Perangkat CME FedWatch menunjukkan hanya 9,2% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada November mendatang. Sementara persentase lebih besar tercermin pada Federal Open Market Committee (FOMC) bulan Desember yakni sebesar 32,2%.
Meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar akan kebijakan ketat hawkish ke depan dikhawatirkan bisa memicu capital outflow dari pasar keuangan Indonesia seperti SBN dan berujung pada tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Beralih ke Asia, China pada pagi hari ini telah merilis data inflasi konsumennya dan secara tak terduga datar pada bulan September 2023, meleset dari perkiraan pasar yaitu kenaikan 0,2% dan setelah kenaikan 0,1% pada bulan Agustus.
Hal ini membawa sentimen negatif bagi negara emerging market seperti Indonesia karena angka yang rendah tersebut mengindikasikan bahwa China masih relatif mengalami perlambatan ekonomi. Sementara China merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia. Artinya, perlambatan ekonomi ini dapat merambat ke Indonesia juga.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Rupiah Terkena Efek The Fed, Bikin Dolar Tembus Rp 15.500
(rev/rev)
Quoted From Many Source